Ping
Saverinus Suhardin. Seorang Perawat yang senang menulis. Sering menuangkan ide lewat tulisan lepas di berbagai media daring termasuk blog pribadi. Beberapa opini dan cerpennya pernah disiarkan lewat media lokal di Kupang-NTT, seperti Timor Express dan Victory News. Selain itu, beberapa karya cerpennya dimuat dalam buku antologi : Jumpa Sesaat di Bandara (Rumah Imaji, 2018) dan Bingkai Dioroma Kehidupan: Aku, Kemarin dan Hal yang Dipaksa Datang (Hyui Publisher, 2018). Saat ini aktif sebagai pengajar di AKPER Maranatha Kupang-NTT dan bergiat di Komunitas Secangkir Kopi (KSK) Kupang.
Pemandangan tiap pagi hampir sama, Ping –pemuda yang bertubuh tambun itu, selalu duduk seperti sedang menunggu sesuatu tidak jauh lampu lalu lintas. Dugaan saya tepat, dia sedang menunggu seorang loper koran. Lihat saja ekspresinya saat orang yang dinantinya tiba, Ping menyambut dengan sinar senyuman yang menjanjikan.
“Koran apa, Pak?” tanya loper koran sambil buru-buru membuka ikatan tali pada tumpukan di jok belakang.
“Semuanya,” lagi-lagi Ping memberikan harapan lewat senyumanya.
Loper koran biasa menjajakan tiga media yang beroperasi di kota ini. Dia mengambil masing-masing satu bundel, lalu dengan badan sedikit membungkuk dia serahkan pada pelanggan di hadapannya. Ping langsung memasang wajah serius saat melihat halaman demi halaman koran itu. Ping membolak-balik koran itu beberapa kali. Loper memandang penuh cemas dari jarak yang tidak begitu jauh, sambil menjajakan kepada orang lain yang lewat di sana.
Ping tidak menemukan apa yang dicarinya pada semua halaman koran itu. Dia sudah mengirim beberapa tulisan ke pos-el redaksi sejak seminggu yang lalu. Dia ingat betul peringatan yang ditulis oleh redaktur koran: “Naskah yang sudah tujuh hari di redaksi dan tidak termuat atau tidak ada konfirmasi ke penulis/pengirim, otomatis dianggap kembali ke pengirim.”
Dia merapikan kembali koran-koran itu, tapi tetap saja kusut seperti wajahnya saat ini. Dia kembalikan ke loper tanpa ada tanda-tanda menyerahkan uang. Sang loper hanya menatap dengan mata yang kecewa, tapi Ping telah mengantisipasi dengan menunduk. Tanpa banyak kata, loper koran membalikkan badan sambil mengumpat pelan.
***
Ping memang bercita-cita menjadi penulis sejak lama. Lima tahun lalu, dia mulai tekun berlatih. Bila ada pelatihan atau seminar menulis, dia biasa duduk paling depan. Sebagai praktiknya, dia mulai menulis di berbagai media daring. Dalam kepalanya selalu terngiang kalimat motivasi penulis lain: Menulis itu mudah; Mengarang itu gampang; Kalau mau jadi penulis, ya menulis saja; dan masih banyak lagi jargon lainnya.
Ping hampir memiliki semua media daring yang bisa digunakan buat latihan menulis. Tulisan yang biasa dibuatnya bukanlah tema-tema yang rumit. Aktivitas jalan pagi, interaksi bersama keluarga, pengalaman berpergian, dan aktivitas sehari-hari menjadi bahan tulisannya. Memang belum bisa dipastikan seberapa banyak orang yang menyukai gaya tulisannya. Tapi, dia begitu bahagia bila ada memberi tanda suka dan komentar. Apalagi kalau sampai ada yang membagikan tulisannya ke media sosial lain.
Meski telah banyak berlatih, kemampuannya masih saja tertatih-tatih. Tulisannya belum ada yang berhasil terbit di koran. Bahkan koran lokal yang tidak menyediakan honor sekalipun belum ada yang melirik tulisannya. Tapi, bukan Ping namanya kalau dia cepat menyerah. “Butuh belajar lebih banyak lagi,” yakinnya dalam batin.
Ping berusaha mendekati penulis-penulis lokal di daerahnya. Dia berusaha mendekati komunitas penulis untuk bisa berlatih lebih baik lagi. Berhasil! Ada satu komunitas lokal yang konsen pada bidang sastra. Menurut kabar yang didengarnya, komunitas itu beranggota penulis cum sastrawan daerahnya.
Pada suatu malam yang lumayan dingin, Ping bersemangat mengikuti acara yang diselenggarakan komunitas sastra itu. Dia sangat berharap, di sana bisa bertemu dan berkenalan dengan sastrawan. Bila sudah berkenalan, tentunya lebih mudah bila ingin belajar dengan mereka. Tapi, lagi-lagi kecewa. Kelompok sastrawan itu lebih banyak memperdebatkan siapa yang paling pantas menjadi tokoh sastra pertama di daerah mereka. Perdebatan itu berlangsung sengit dan sangat panjang. Hasilnya, mereka belum biasa simpulkan siapa sastrawan pertama dari daerah mereka. Ping yang hanya ingin belajar menulis hanya bisa melongo dan menyimpulkan satu hal, “Menjadi sastrawan itu berat, saya tidak akan kuat. Biar mereka saja.”
Sepulang dari acara komunitas sastra itu, bukannya minat menulis yang bertambah, malah makin takut memulai sebuah tulisan. Pikiran Ping lebih didominasi rasa tidak pantas menjadi penulis. Hampir sebulan, dia tidak membuat tulisan apa-apa.
Ping belum putus asa. Dia coba mencari nama-nama sastrawan daerahnya di facebook. Mudah, semuanya memiliki akun media sosial dan terlihat begitu aktif menulis di sana. Ping berpikir, ini cara belajar yang lebih baik. Dia tidak perlu mencari sastrawan yang dianggapnya sangat cocok sebagai guru menulis itu satu per satu. Cukup membuka media sosial, mereka begitu mudah ditemukan. Belajar akan lebih mudah.
Ping coba membuka salah satu akun facebook sastrawan tersebut, isinya masih sama dengan diskusi di komunitas kemarin. Sesama sastrawan masih memperdebatkan siapa yang layak disebut sebagi sastrawan di daerahnya dan siapa yang disebut sastrawan abal-abal. Isi akun media sosialnya lebih banyak perdebatan tentang posisi sebagai sastrawan, tapi sangat minim menujukkan karya sastra yang baik itu seperti apa. Mana pelajaran yang bisa dipetik?
Ping beralih ke akun media sosial sastrawan yang lainnya. Kali ini isinya lumayan baik. Sastrawan itu menunjukkan bagaimana cara menulis yang baik. Tapi, cara dia menyampaikan kesalahan itu begitu vulgar. Dia posting semua kesalahan-kesalahan itu, lalu dikomentari dengan nada satire. Tentu saja itu menelajangi penulis-penulis baru yang sedang bertumbuh. Penulis baru yang mendapat kritik pedas di khalayak umum dunia maya pasti akan malu, lalu muncul ketakutan untuk menulis lagi. Kalau sastrawan itu berniat mendukung generasi baru untuk menulis, kenapa tidak sampaikan kritik atau sarannya lewat jalur komunikasi pribadi? Kenapa harus dipamerkan ke banyak orang? Kemudian Ping bertanya lagi dalam benaknya, “Apa yang bisa diteladani dari sastrawan ini?”
Ping coba membuka lagi akun sastrawan lainnya. Semuanya sama. Tidak ada yang bisa dipelajari dari media sosial mereka. Eh, ternyata ada. Tapi, sastrawan itu membuka kelas daring berbayar. Ping rela mengeluarkan sedikit isi koceknya. Belajar daring dimulai. Ping mendapat kiriman materi belajar menulis. Isinya sama dengan apa yang pernah dibacanya sejak dulu. Masuk ke tahap praktik. Tulisan Ping dinilai kurang menarik oleh sang mentor. Tidak ada ketegangan cerita dan dibalut dengan narasi yang buruk. Ping semakin terpuruk. Dia berhenti komunikasi dengan mentornya, padahal jadwal belajar masih panjang. Ping muak dengan cara-cara mentornya yang kurang sesuai dengan keinginanya. Entah karena memang mentornya benar-benar kurang baik atau memang Ping sendiri yang mengalami gangguan kejiwaan. Dia tidak pernah puas dengan apa yang didapat dan selalu mencari kambing hitam.
***
Setelah lama berhenti, minggu lalu Ping coba mulai menulis lagi. Satu cerita dia selesaikan lama sekali. Dia begitu yakin, ceritanya kali ini layak terbit di koran sehingga langsung dikirim ke alamat pos-el redaksi. Berapa hari kemudian, dia mengecek tulisannya di loper koran langganannya. Ternyata belum dimuat. Dia sangat kecewa dan tidak jadi membeli koran.
Hari Minggu ini dia pergi mengecek lagi, apakah tulisannya lolos kurasi oleh redaktur koran atau tidak? Pagi sekali dia sudah berada di pangkalan, tempat yang biasa digunakan loper koran beroperasi. Loper koran sudah hafal kebiasaannya, sering membolak-balik koran hingga lusuh, kemudian tidak jadi beli. Itulah kenapa begitu loper koran tahu Ping sedang menunggunya, dia pura-pura tidak melihatnya.
Ping agak jengkel dengan tingkah loper koran yang tampak makin cuek dengan dirinya. Dia berteriak keras, “Korrraaan…, kooorrrannnn….koorraannn…!!!” Sejengkel apapun loper koran terhadap Ping, dia tetap berusaha melayani setiap pelanggan dengan baik.
“Koran apa, Pak?” tanya loper koran dengan nada lembut.
“Semuanya!” perintah Ping dengan nada suara meninggi.
Loper koran menyerahkan beberapa eksemplar koran sambil tersenyum ramah. Ping tidak begitu peduli dengan senyuman itu, dia langsung fokus pada koran yang sudah ada di tangannya. Dia mulai bolak-balik setiap halamannya. Setiap koran yang ada dicek satu per satu. Rupanya nihil lagi. Lihat saja wajahnya yang muram serta bibirnya yang menjuntai lemah itu. Dia buru-buru melipat koran tersebut, kemudian mengembalikan ke loper tadi.
“Tidak jadi beli ko, Bapa?”
“Sonde![1],” balas Ping tak acuh. Loper koran berbalik badan dan menggerutu tidak jelas.
“Woe Babi! Kamu maki saya, kah?” bentak Ping dengan nada murka.
“Kau yang babi! Buka-buka koran tapi tidak beli,”balas loper koran sambil memunggungi Ping.
Ping langsung berlari kencang kemudian melayangkan tendangan ke punggung loper koran. Duukk! Loper koran tersungkur ke depan, area wajahnya mengenai aspal. Koran-korang yang dipegangnya, semua tercecer. Terlihat darah mengalir di aspal, bersumber dari area wajah si loper koran. Dia mengerang kesakitan.
Tidak berhenti di situ, Ping mendekat lagi sambil menggenggam batu besar. Dia hantam batu itu berkali-kali tepat di bagian belakang kepala loper koran. Si loper koran hanya bisa menjerit pasrah, lalu hening.
Ping mulai panik, jangan-jangan loper koran sudah tidak bernyawa. Darah dari kepala dan telinga loper koran terus mengalir. Masyarakat yang baru menyadari kejadi itu segera melerai, tapi sudah terlambat. Ping sudah melarikan diri lebih cepat dari respon mereka. Orang-orang ramai berkerumun di sekeliling tempat kejadian. Mereka menjerit sambil mengeluar ponsel masing-masing untuk merekam persitiwa nahas tersebut.
“Aduh, kasian eee…”
“Ko kenapa bisa begitu?”
“Woe, siapa pelakunya?”
“Foto ko posting di FB, biar keluarga korban tahu”
“Woe, telepon ambulans dulu…”
“Telepon polisi!”
Sementara itu, Ping sudah berada di pos polisi terdekat. Sambil tersengal-sengal, dia jelaskan kejadiannya. Dia lari ke situ biar tidak dihakimi massa. Polisi langsung mengamankan Ping di ruangan khusus. Ruangan itu gelap saat pintunya ditutup lagi dari luar. Ping merasa lega. Dia membayangkan sebentar lagi akan tinggal di penjara, tanpa rasa khawatir sedikitpun. Dia bisa memesan kamar dengan fasilitas khusus seperti kabar yang beredar selama ini. Minimal ada pendingin udara, rak beserta buku-buku, laptop buat menulis dan fasilitas penunjang lainnya. “Banyak penulis hebat bangsa ini, dulunya pernah dipenjara. Barangkali saya harus masuk penjara dulu baru bisa menghasilkan tulisan yang baik,” gumam Ping pada dirinya sendiri.
Mari kita tunggu karya terbaik Ping sepulang dari penjara.
***SELESAI***
[1] Sonde (Bahasa Kupang), artinya: tidak